Orang miskin akan mengatakan, orang kaya adalah orang ”gedongan”. Artinya, orang miskin adalah orang yang hidupnya tak menentu dan orang kaya adalah mereka yang hidupnya ”mapan”. Pemerintah mengatakan, orang miskin adalah mereka yang ber-”hak” atas bantuan beras miskin. Orang miskin adalah kelompok masyarakat yang perlu dimasukkan dalam daftar bantuan langsung tunai (BLT).
Dan, apa artinya kemiskinan?
Tak berhubungan
Hal yang paling menakjubkan dari riuh rendah mengenai kemiskinan sekarang ini timbul dari tak nyambungnya kenyataan, kemiskinan sebagai sesuatu keadaan yang terus mendera dan perhitungan di balik meja yang bermain dalam pengelompokan, lengkap dengan simulasi dan aneka alat manipulasi angka yang lain.
Dan, apa dasar segala rupa manipulasi angka itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan bahan utamanya. Menurut mereka, kemiskinan adalah orang yang pendapatannya hariannya tak lebih dari Rp 5.500 atau Rp 166.697 per bulan (2007). Jadi, jika ditambah dengan BLT Rp 1.000 itu, orang miskin yang dihitung-hitung mencapai hampir 25 persen warga RI itu, penghasilan hariannya adalah Rp 6.500 saja!
Dan, jika sekarang Anda bayangkan bahwa satu dari empat saudara kita selalu saja hanya mampu berpenghasilan harian sebesar Rp 6.500, lalu dapat Anda bayangkan betapa mengerikan keadaan kita sebagai bangsa.
Segala rupa perdebatan dan kebijakan pemerintah yang menyangkut kemiskinan memang mirip dengan kisah dongeng saja. Pemikiran, kebijakan, dan perdebatan akademik amat jauh panggang dari api. BPS memberikan angka, lalu kaum birokrat lain menyusun program mengatasi kemiskinan dan orang miskin hanya tersenyum melihat ”bonus” harian senilai Rp 1.000 itu. Semua lalai bahwa kemiskinan adalah bukan soal zakat dan derma saja, tetapi berkait dengan kekuasaan dan politik. Orang miskin tak punya suara mengenai jati diri kemiskinan itu, dan hanya versi resmi kenyataan pahit itu yang layak beredar!
Politik balas budi
Sepanjang sejarah kemiskinan di Indonesia diingat dengan baik, maka awal kisah itu tercatat sudah seabad yang lalu dalam program pemerintah kolonial yang disebut ”politik etis” alias balas budi. Nalarnya sebagai berikut:
Indonesia adalah negeri kaya-raya, tetapi rakyatnya miskin. Karena kaum kolonialis merasa telah ”merampok” kekayaan itu sehingga diluncurkan politik balas budi itu, yakni lewat pendidikan, irigasi, dan kependudukan. Gaya politik etis yang kolonial ini dilanjutkan oleh semua jenis pemerintah yang pernah ada di Indonesia. Malahan di zaman Orba, dengan dalih bukan lagi ”balas budi”, tetapi dengan dalih yang lebih kejam, hal itu dijalankan lagi. Namanya teori ”tetesan” alias trickle down effect. Dalam ideologi sejenis itu, laju pertumbuhan harus dipacu, misalnya 10 persen per tahun, dan nanti lama kelamaan kue pembangunan itu akan melimpah, jatuh dari meja orang kaya dan masuk ke perut orang miskin.
Distribusi pendapatan disebut tak merata jika, misalnya, 40 persen warga hanya dapat 10 persen kue nasional dan 10 persen warga lain dapat 40 persen kue nasional. Saat ini 25 persen warga kita dinyatakan hidup di bawah garis kemiskinan. Itu semua adalah versi resmi kemiskinan sehingga masalahnya lalu dikaitkan dengan target pengentasan kemiskinan dan program-program lain, seperti beras untuk orang miskin (raskin).
Dengan seluruh gaung dan pesona riuh rendah kemiskinan, orang akan cenderung silap akan satu hal, yakni bahwa kemiskinan dari zaman baheula adalah produk sebuah kebijakan politik yang rakus dan salah arah. Dalam buku ekonomi, jenis kebijakan ekonomi itu dicangkokkan pada dua ”iman” berekonomi, yakni antara merkantilisme dan liberalisme. Versi lama merkantilisme, pemerintah aktif dalam mengelola roda ekonomi, sedangkan dalam liberalisme peran pemerintah ditekan, dan pasar akan mengatur diri sendiri. Negara Asia cenderung pada merkantilisme dan Eropa/Amerika pada yang liberal.
Indonesia?
Aneh bin ajaib, Indonesia sekarang lebih dekat dengan Eropa/Amerika, dalam arti pada struktur dasar ”iman” akan pasar adalah yang paling memberi warna pada kebijakan ekonomi kita. Indonesia adalah penghasil minyak meski net importer. Tapi, sungguh aneh bin ajaib mengapa fluktuasi harga minyak dunia yang dikuasai oleh para spekulan itu secara langsung dikaitkan dengan APBN dan seluruh bangunan ekonomi nasional. Tanpa pemerintah berlaku sebagai pelindung sehingga gelombang ekonomi dunia langsung menubruk riak-riak ekonomi kita dan orang miskin langsung tenggelam dalam nestapa.
Karena itu, jika pemerintah beriman pada ekonomi pasar, sudah saatnya mereka yang beragama lain dalam ekonomi, semisal kaum ”ekonomi kerakyatan”, perlu mulai berseru dan mengingatkan bahwa kita sedang berada di sebuah rezim ekonomi yang sesat. Permainan politik yang mengorbankan orang miskin dalam permainan angka dan kebijakan yang tak akan menyentuh akar masalah sesungguhnya perlu diamati secara cerdas. Rezim kolonial yang sudah berjalan terus-menerus itu memang harus ditinjau ulang secara mendalam. Kemiskinan versi orang gedongan amat sulit dimengerti oleh orang miskin sendiri.
Apapun itu, bagi yang mau lepas dari kemiskinan cobalah
ikuti bisnis gratis, menjanjikan dan tanpa resiko. <<<<<
Dan, apa artinya kemiskinan?
Tak berhubungan
Hal yang paling menakjubkan dari riuh rendah mengenai kemiskinan sekarang ini timbul dari tak nyambungnya kenyataan, kemiskinan sebagai sesuatu keadaan yang terus mendera dan perhitungan di balik meja yang bermain dalam pengelompokan, lengkap dengan simulasi dan aneka alat manipulasi angka yang lain.
Dan, apa dasar segala rupa manipulasi angka itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan bahan utamanya. Menurut mereka, kemiskinan adalah orang yang pendapatannya hariannya tak lebih dari Rp 5.500 atau Rp 166.697 per bulan (2007). Jadi, jika ditambah dengan BLT Rp 1.000 itu, orang miskin yang dihitung-hitung mencapai hampir 25 persen warga RI itu, penghasilan hariannya adalah Rp 6.500 saja!
Dan, jika sekarang Anda bayangkan bahwa satu dari empat saudara kita selalu saja hanya mampu berpenghasilan harian sebesar Rp 6.500, lalu dapat Anda bayangkan betapa mengerikan keadaan kita sebagai bangsa.
Segala rupa perdebatan dan kebijakan pemerintah yang menyangkut kemiskinan memang mirip dengan kisah dongeng saja. Pemikiran, kebijakan, dan perdebatan akademik amat jauh panggang dari api. BPS memberikan angka, lalu kaum birokrat lain menyusun program mengatasi kemiskinan dan orang miskin hanya tersenyum melihat ”bonus” harian senilai Rp 1.000 itu. Semua lalai bahwa kemiskinan adalah bukan soal zakat dan derma saja, tetapi berkait dengan kekuasaan dan politik. Orang miskin tak punya suara mengenai jati diri kemiskinan itu, dan hanya versi resmi kenyataan pahit itu yang layak beredar!
Politik balas budi
Sepanjang sejarah kemiskinan di Indonesia diingat dengan baik, maka awal kisah itu tercatat sudah seabad yang lalu dalam program pemerintah kolonial yang disebut ”politik etis” alias balas budi. Nalarnya sebagai berikut:
Indonesia adalah negeri kaya-raya, tetapi rakyatnya miskin. Karena kaum kolonialis merasa telah ”merampok” kekayaan itu sehingga diluncurkan politik balas budi itu, yakni lewat pendidikan, irigasi, dan kependudukan. Gaya politik etis yang kolonial ini dilanjutkan oleh semua jenis pemerintah yang pernah ada di Indonesia. Malahan di zaman Orba, dengan dalih bukan lagi ”balas budi”, tetapi dengan dalih yang lebih kejam, hal itu dijalankan lagi. Namanya teori ”tetesan” alias trickle down effect. Dalam ideologi sejenis itu, laju pertumbuhan harus dipacu, misalnya 10 persen per tahun, dan nanti lama kelamaan kue pembangunan itu akan melimpah, jatuh dari meja orang kaya dan masuk ke perut orang miskin.
Distribusi pendapatan disebut tak merata jika, misalnya, 40 persen warga hanya dapat 10 persen kue nasional dan 10 persen warga lain dapat 40 persen kue nasional. Saat ini 25 persen warga kita dinyatakan hidup di bawah garis kemiskinan. Itu semua adalah versi resmi kemiskinan sehingga masalahnya lalu dikaitkan dengan target pengentasan kemiskinan dan program-program lain, seperti beras untuk orang miskin (raskin).
Dengan seluruh gaung dan pesona riuh rendah kemiskinan, orang akan cenderung silap akan satu hal, yakni bahwa kemiskinan dari zaman baheula adalah produk sebuah kebijakan politik yang rakus dan salah arah. Dalam buku ekonomi, jenis kebijakan ekonomi itu dicangkokkan pada dua ”iman” berekonomi, yakni antara merkantilisme dan liberalisme. Versi lama merkantilisme, pemerintah aktif dalam mengelola roda ekonomi, sedangkan dalam liberalisme peran pemerintah ditekan, dan pasar akan mengatur diri sendiri. Negara Asia cenderung pada merkantilisme dan Eropa/Amerika pada yang liberal.
Indonesia?
Aneh bin ajaib, Indonesia sekarang lebih dekat dengan Eropa/Amerika, dalam arti pada struktur dasar ”iman” akan pasar adalah yang paling memberi warna pada kebijakan ekonomi kita. Indonesia adalah penghasil minyak meski net importer. Tapi, sungguh aneh bin ajaib mengapa fluktuasi harga minyak dunia yang dikuasai oleh para spekulan itu secara langsung dikaitkan dengan APBN dan seluruh bangunan ekonomi nasional. Tanpa pemerintah berlaku sebagai pelindung sehingga gelombang ekonomi dunia langsung menubruk riak-riak ekonomi kita dan orang miskin langsung tenggelam dalam nestapa.
Karena itu, jika pemerintah beriman pada ekonomi pasar, sudah saatnya mereka yang beragama lain dalam ekonomi, semisal kaum ”ekonomi kerakyatan”, perlu mulai berseru dan mengingatkan bahwa kita sedang berada di sebuah rezim ekonomi yang sesat. Permainan politik yang mengorbankan orang miskin dalam permainan angka dan kebijakan yang tak akan menyentuh akar masalah sesungguhnya perlu diamati secara cerdas. Rezim kolonial yang sudah berjalan terus-menerus itu memang harus ditinjau ulang secara mendalam. Kemiskinan versi orang gedongan amat sulit dimengerti oleh orang miskin sendiri.
Apapun itu, bagi yang mau lepas dari kemiskinan cobalah
ikuti bisnis gratis, menjanjikan dan tanpa resiko. <<<<<
0 komentar:
Posting Komentar