Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--

Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--

Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan --

Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasahlan--Sugeng Rawuh--Selamat Datang--Wellcome--Ahlan Wasallan--

MEMBELA BURUH DENGAN AGAMA

Judul : Teologi Buruh
Penerbit : LKiS
Cetakan : I, April 2008
Tebal : xviii + 280 halaman
Penulis : Abdul Jalil
Peresensi : Tri Umi Sumartyarini

Dalam sejarahnya, perbudakan di negara manapun tidak pernah menggembirakan. Kedudukan dan nasib para buruh selalu tragis dan menyedihkan. Tidak terkecuali di Indonesia. Para aktivis yang membela kepentingan buruh dituduh sebagai kaum sosialis. Sedikit orang yang meneliti masalah perburuhan dari segi agama.
Di Indonesia, sejarah tentang hubungan industrial dimulai dengan sistem perbudakan. Mereka ini merupakan “buruh” pada zamannya. Upah yang mereka terima biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan. Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang. Orang atau badan hukum merupakan “majikan” yang berkuasa penuh dan mutlak atas nasib para budaknya dan bahkan berkuasa atas hidup mati mereka.


Pada 1877, seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.
Masa kini, ekspolitasi tersebut ditranformasi para pengusaha terhadap buruh. Dalam sistem kapitalisme, kaum buruh cenderung dieksploitasi. Mereka diperas tenaganya untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai nilai (surpus value). Akan tetapi nilai lebih itu sendiri tidak kembali pada buruh, tetapi kembali kepada pihak pengusaha (kaum kapitalis). Dalam hal ini buruh hanya menerima upah tertentu dari majikannya, dan upah tersebut sama sekali tidak merepresentasikan pembagian keuntungan dari nilai lebih yang diperoleh dari pihak perusahaan.
Para buruh diset-up sebagai bagian dari sistem produksi dengan metafora mesin sehingga melahirkan persepsi bahwa perusahaan adalah “mesin pencetak uang” dengan bahan bakar “keringat buruh”.
Buku Teologi Buruh mencoba mengajak pembaca agak berpihak pada sistem yang berlaku dalam Islam. Ada beberapa alasan mengapa Islam harus dijadikan rujukan. Pertama, sebagai agama yang komprehensif-universal Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa mejadi alternatif bagi dua ideologi besar dunia yang sama-sama ekstrim, kapitalisme dan sosialis.
Di sisi lain, hukum Islam sebagai konsep normatif yang bersifat operasional diharapkan akan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontemporer yang notabene-nya berada di bawah sistem ekonomi kapitalis.
Kedua, sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia, umat Islam diharapkan mampu melakukan pressure terhadap negara agar penanganan masalah perburuhan tetap mengacu pada fitrah kemanusiaan yang menjadi misi utama Islam.

Buruh dalam Islam
Jauh waktu sebelum UU No. 13 tahun 2003 yang menata dan menegosiasikan kepentingan bersama antara buruh, majikan, dan negara disahkan, Islam sudah memiliki seperangkat aturan yang mengatur hak-hak buruh. Aturan tersebut tertuang dalam al-Quran dan hadits.
Dalam Islam, hubungan kerja antara majikan dan buruh dikonstruk dalam kontrak ijarah, yang memuat berbagai ketentuan kerja yang berlaku antara buruh, majikan, dan pihak ketiga serta aspek-aspek yang berlaku di dalamnya, seperti besaran upah, perlakuan terhadap buruh perempuan dan anak-anak, perselisihan perburuhan, dan prosedur pembentukan dan pemutusan kerja.
Sebagai konsekuensi dari adanya kontrak kerja maka muncullah hak dan kewajiban, baik di pihak buruh maupun majikan. Tanggung jawab tersebut harus ditunaikan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama dan juga berdasar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dalam Islam, seorang buruh memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh sang majikan. Hak-hak tersebut diantaranya hak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya. Upah atau gaji merupakan hak utama bagi setiap buruh. Pihak perusahaan atau majikan tidak boleh menahan gaji, mengurangi, dan apalagi meniadakannya sama sekali. Islam bahkan menganjurkan agar upah buruh diberikan sebelum keringatnya kering. Seperti yang disebutkan dalam hadits Sunan Ibn Majah.
Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian gaji ini dilarang keras dalam Islam. Nabi dengan tegas mengobarkan permusuhan dengan orang yang bermental seperti ini, dan di akhirat kelak ia akan digolongkan sebagai orang-orang yang akan dimusuhi dan dimurkai Allah.
Dalam sebuah hadits lain bahkan menegaskan: “Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu”. (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 559)
Hak buruh lain yang juga diatur dalam al-Quran dan hadits adalah hak mengembangkan kompetensinya, hak mendapat keselamatan, kesehatan, dan perlindungan, hak mendapat waktu istirahat, hak mendapatkan penghidupan yang layak, hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh, serta hak melakukan mogok kerja(hal 150-162).
Buku setebal 280 halaman ini dapat dijadikan sebuah alternatif baru memahami masalah perburuhan di tengah dua ideologi besar kapitalisme dan sosialisme. Buku ini hadir untuk menelusuri problem perburuhan, khususnya di Indonesia, membaca paradigma yang menggerakkan sistemnya, dan untuk selanjutnya berusaha menawarkan konsep perburuhan baru yang lebih humanis dan berlandaskan nilai-nilai agama. Buku ini sangat baik untuk para aktivis, kaum buruh, dan pecinta keadilan dan kesejahteraan.
Share on Google Plus

About admine

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar